Pusat Batu AJI di Jakarta ( JAKARTA GEMS CENTER ) JGC



Warga ibu kota agaknya harus berbangga diri. Selain sebagai kota metropolitan dan ibu kota negara, ternyata Jakarta juga memiliki pusat batu permata yangterletak di Jakarta Gems Center (JGC) Rawabening, Jatinegara, Jakarta Timur. Yang membanggakan, JakartaGems Center ini merupakan salah satu pusat penjualan batu permata terbesar di Asia Tenggara setelah Gems Tower Building di Thailand.
Pusat batu permata di JGC Rawabening ini layak mendapatkan predikat sebagai pasar batu permata di Asia Tenggara. Sebab jumlah pedagang batu permata ditempat tersebut mencapai ribuan pedagang, yang menawarkan aneka ragam batu alam lokal dari pelosokdaerah di Indonesia. Jumlah barang yang ditawarkan pun mencapai ratusan jenis batu alam yang ada di nusantara.
Meski baru akan diresmikian pada 12 Mei 2010 mendatang, namun geliat penjualan batu permata di JGC ini sudah mulai marak sejak tiga bulan silam. Tepatnya setelah gedung Jakarta Gems Center di Rawabening berdiri. Tak hanya penjualan, proses pemotongan, gosok, hingga finishing, dilakukan di JGC Rawabening.
Muhammad Chamami Aziz, salah satu pedagang batu permata yang juga koordinator pedagang binaan batu permata mengaku, di JGC Rawabening ini terdapat kurang lebih ribuan pedagang batu alam. Namun kini, lanjut pria yang akrab disapa Aziz, hanya terdapat 541 pedagang batu yang sudah terdaftar sebagai pedagangtetap di JGC Rawabening.
Selain beragam batu alam dengan berbagai jenis dan bentuknya, di JGC Rawabening juga dijual benda-benda yang menurut masyarakat tradisional bertuah. Seperti keris, akar-akaran, dan fosil yang telah berumur hingga ratusan tahun silam. Keunikan benda-benda yang ditawarkan inilah yang menyedot perhatian pecinta batu alam untuk berburu di tempat ini.
“Dibukanya JGC Rawabening ini memang tak lepas darisejarah yang dilalui para pedagang batu alam atau permata. Pedagang nggak asal nempatin, tetapi juga memiliki perjalanan sejarah untuk bisa seperti ini,” ujar Aziz kepada beritajakarta.com , Jumat (30/4).
Aziz berkisah, pada tahun 1980-an, JGC hanyalah sebuahpasar umum di mana sekitar 20-an pedagang batu alam hanya menempati lahan parkir yang disediakan. Namun lambat laun tempat tersebut menjadi pusat penjualan batu permata di Jakarta. Terbukti setiap harinya tempat itu selalu dikunjungi banyak orang, baik dari dalam maupun luar Jakarta. Maka pada tahun 1990-an kondisinya pun mulai berkembang.
Karena keberadaan para pedagang batu di Rawabeningmulai dibutuhkan, maka pada tahun 2005, para pedagang batu menuntut dibentuknya sebuah wadah asosiasi bagi para pedagang batu di Rawabening. Hingga akhirnya dibangun sebuah pusat perdagangan batu permata dengan nama Jakarta Gems Center (JGC) Rawabening.
Sejak selesai pembangunan pada awal tahun 2010, keberadaan JGC Rawabening mendapat sorotan dari penggila batu alam atau batu permata. Berbagai batu permata yang ada di seluruh daerah di nusantara berpusat di JGC Rawabening, termasuk daerah Garut hingga dari kepulauan Bacan, Halmahera, Maluku utara yang menjadi inspirasi nama batu, yakni Batu Garut dan Batu Bacan.
Azis berharap, sebagai pusat penjualan batu alam dan permata, pemerintah dapat turun tangan langsung dalam membantu para pedagang. Seperti proses indutri, mulai pemotongan hingga penggosokan batu yang masih menggunakan mesin manual dapat beralih ke mesin yang lebih modern. “Menggunakan mesin manual proses produksi hanya selama 1 jam, jika dengan alat modern pasti bisa lebih cepat,” jelas Aziz.
Sedangkan menurut Junaidi, Koordinator Asosiasi Pengrajin Usahawan Batu Aji, Permata, Cincin dan AnekaKerajinan atau Puspacakra, mengaku bahwa batu-batuan Indonesia di kalangan international sering disebut batu aji. Jenis batu ini bersumber dari daerah yang berada di ujung pulau Sumatera sampai Jayapura. Hanya saja karena pengaruh pengolahan yang belum maksimal, membuat batu daerah seakan tidak berharga.
Menurutnya, JGC Raawabening hadir sebagai media dimana proses mengumpulkan potensi alam yang tak ternilai harganya, serta proses pembentukan batu alamagar menjadi lebih berharga. Tak hanya itu, dari sudut ekonomi, usaha perdagangan batu alam ini bersifat padat karya.
“Mulai proses pengangkutan dari alam, pemotongan, penggosokan, hingga pemasarannya membutuhkan tenaga kerja yang berpengalaman. Dari sinilah mengapa kita sebut usaha ini sebagai usaha padat karya. Jika pemerintah bisa memanfaatkan kondisi ini maka berapa orang yang dapat bekerja dan terhindar dari pengangguran,” ungkap Junaidi.
Junaidi juga menjelaskan, batu yang dihasilkan dari daerah Indonesia bernilai seni tinggi dan tak ternilai harganya. Seperti batu Garut harganya mencapai Rp 2 juta, batu Pancawarna harganya berkisar 25 ribu dolar AS, batu Bacan yang kini tengah digandrungi pecinta batu Aji harganya antara Rp 2-10 juta. “Orang Eropa lebih suka batu natural dan kaya warna seperti jenis Pancawarna," kata Junaidi.